News Breaking
PHTV
wb_sunny

Breaking News

Ketum Imam Ajak Mahasiswa Jadikan Al Qur'an sebagai Sumber Inspirasi

Ketum Imam Ajak Mahasiswa Jadikan Al Qur'an sebagai Sumber Inspirasi


JAKARTA -
Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Hidayatullah Imam Nawawi mendorong mahasiswa untuk terus mempelajari Al Qur'an, menggali makna dan hikmahnya serta menjadikannya sebagai sumber inspirasi dalam kehidupan. 

Hal itu disampaikan Ketum Imam saat menjadi narasumber dalam acara Studium General Pesmadaiyah secara daring yang digelar Jum'at (4/6/2021). 

"Siapa yang tak kenal Alquran. Orang di luar Islam pun mengenal minimal pernah mendengar, bahkan sebagian pihak walau pun tidak berstatus Muslim sangat serius meneliti Alquran, itulah kelompok orientalis," kata Imam. 

Hal ini menunjukkan bahwa Alquran telah menjadi arus utama perhatian banyak pihak. Dan, lanjut dia, sudah barang tentu amatlah rugi jika kita yang berstatus sebagai Muslim dan Muslimah justru jauh dan tidak mengenal makna serta tujuan dari diwahyukannya Alquran itu sendiri. 

"Bahkan, harus jujur diterima, sebagian besar masyarakat Muslim di negeri ini masih banyak tidak bisa membaca Alquran, apalagi hafidz dan memahami maknanya," imbuh pembina Pesmadai ini. 

Imam menukil sebuah riset di tahun 2020 yang menyebutkan 65% penduduk Indonesia yang beragama Islam, tidak bisa membaca Alquran. 

Lanjut dia, sebelumnya, Kampus Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta menyampaikan hasil survei mereka pada 2017 bahwa 60 hingga 70% masyarakat Muslim Tanah Air tidak bisa membaca Alquran.

"Ini berarti ada tantangan terang dan menganga di depan mata, bahwa umat Islam butuh sentuhan dan kesungguhan kaum mudanya untuk lebih intens berinteraksi dengan Alquran," ujarnya. 

Ia mengingatkan, tnteraksi dengan Qur'an itu tak sekedar mengejar jumlah banyaknya ayat yang dibaca, tetapi juga memahaminya secara mendalam dari beragam aspek kehidupan, utamanya epistemologi Islam.

"Karena tidak mungkin umat Islam akan mampu berperan signifikan dalam membangun peradaban mulia di negeri ini jika kitab suci yang seharusnya jadi pedoman, justru tidak dikenal dan dipahami dengan sebaik-baiknya," kata penulis buku 'Iqra, Landasan Peradaban' ini. 

Mengutip apa yang pernah diutarakan cendekiawan muslim Suharsono dalam bukunya Membangun Peradaban Islam Menata Indonesia Masa Depan dengan Alquran, Imam mengatakan kejayaan umat Islam dapat diraih hanya dengan umat Islam itu sendiri yang harus memahami dan menjalankan ajaran Islam secara paripurna. 

"Ketika umat Islam tidak berpegang teguh kepada Alquran dan Sunnah, maka mereka akan tersesat dan dikalahkan, sebagaimana keadaan dewasa ini. Karena itu, untuk meraih kembali kejayaan dan membangun peradaban Islam masa depan yang gemilang, maka kita pun harus mengikuti ajaran Islam dan Sunnah Rasulullah secara paripurna,” imbuh Imam masih menukil pandangan ilmuan muslim kelahiran Jepara itu.  

Untuk bisa kembali kepada Alquran dan Sunnah, menurut Suharsono, umat Islam harus mampu memahami ajaran Islam yang tercermin dalam Alquran dan Sunnah yang memuat pandangan dan nilai-nilai ideologis, termasuk memberikan transformasi sosial, dalam spektrum kehidupan yang luas.

Hal itu diperlukan guna menunjukkan bahwa Islam adalah ajaran yang menggerakkan dan mentransformasikan, tentu saja tidak cukup dengan menjustifikasi realitas kehidupan maupun kehidupan politik yang ada. Lebih dari itu, kita harus mampu membangun paradigma kehidupan yang memang berbasis pada jaran Islam itu sendiri, yakni Alquran.

Dalam kesempatan tersebut, Imam juga mengulang kembali pesan pakar pengkajian Al Qur'an almarhum DR. Ahzami Samiun Jazuli dalam bukunya Kehidupan dalam Pandangan Alquran, yang menjelaskan bahwa di dalam mukjizat akhir zaman itu telah tersedia segala hal yang dibutuhkan kehidupan umat manusia, termasuk bagaimana membangun kehidupan yang bahagia.

“Sesungguhnya seorang Mukmin sejati memiliki keyakinan yang tinggi bahwa tidak ada kebahagiaan atau pun ketenangan bagi umat manusia, tidak juga berkah dan kesucian yang selaras dengan hukum alam dan fitrah kehidupan, kecuali bila manusia mau kembali kepada Allah dengan mengkaji dan mengaplikasikan ajaran yang ada di Kitab-Nya, yang merupakan pedoman bagi kehidupan manusia. Hanya Kitab-Nya yang mampu menuntun manusia menjadi manusia ideal yang memiliki prinsip hidup yang sempurna serta berakhlak mulia,” kata Ahzami. 

“Sesungguhnya Alquran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shaleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Isra [17]: 9).

Dalam kata yang lain, hidup yang bahagia hanya mungkin diraih dan benar-benar dirasakan oleh manusia manakala mereka memahami dan menjalankan ajaran Islam sebagaimana tercantum di dalam Alquran. Karena Alquran adalah obat bagi dada manusia.

Ahzami kembali menuliskan, “Kebahagiaa adalah sesuatu yang bersifat kejiwaan dan tidak bisa divisualisasikan atau pun diukur dengan suatu alat ukur tertentu atau pun dibeli dengan uang. Sesungguhnya kebahagiaan adalah sesuatu yang dirasakan oleh individu manusia dalam hati. Ia adalah cermin atas kesucian diri, ketenangan hati, kelapangan dada dan nyamannya perasaan.”

Lebih jauh Imam menjelaskan, melihat Alquran sebagai pedoman maka hal itu tidaklah sulit dipahami, mengingat Alquran adalah kitab yang mendorong manusia membaca dengan nama Allah (Iqra’ Bismirabbik) dengan maksud mengoptimalkan peran dan daya guna akalnya untuk memahami kekuasaan Allah.

Akan tetapi, seperti diuraikan di atas, karena cukup banyak umat ini yang belum bisa membaca Alquran, maka semakin kecillah umat Islam yang gemar membaca dalam aspek lainnya, utamanya membaca buku.

"Sangat berbeda dengan ulama terdahulu yang amat luar biasa gemar membaca. Indikatornya ada di depan mata kita, bahkan boleh jadi, itu ada pada sebagian kita," kata Imam. 

Imam pun mengingatkan sindirian yang pernah diungkapkan oleh Prof. DR. Hamid Fahmi Zarkasyi dalam satu kesempatan mengenai lemahnya daya baca umat. 

"Orang membeli buku harga 100 ribu itu (terasa) mahal. Tapi kalau nongkrong di cafe (menghabiskan) 200 ribu itu (dianggap) murah. Artinya orientasi perut lebih besar dariapda orientasi otak".

Dengan demikian, lanjut Imam, kalau tradisi membaca Alquran saja lemah, sudah pasti membaca dalam hal untuk mendapatkan ilmu pengetahuan juga akan rendah. Oleh karena itu jangan heran jika sekarang amatlah sedikit orang Islam yang gemar menulis, sekalipun telah lulus kuliah doktoral. 

Padahal ulama kita terdahulu amatlah giat di dalam menulis. Prof Hamid menegaskan bahwa seorang Ath-Thobari menulis 40 halaman setiap hari selama 40 tahun. 

Jadi selama hidupnya 57 tahun, beliau telah menulis 584.000 halaman. Jika harus ditanya secara teknis, berapa juta halaman yang beliau baca dalam setiap harinya?

"Pada saat yang sama, bagaimana mungkin generasi muda Muslim akan mampu menghadirkan karya berupa pemikiran dan persembahan empiris bagi kehidupan jika semangat membacanya rendah," kata Imam.

Oleh sebab itu, menutunya, kaum muda muslim perlu belajar pada pengarang Shafwatut Tafasir, yakni Syaikh M. Ali Ash-Shabuni yang mengatakan, “Saya berkonsentrasi menyusun tafsir ini selama lima tahun lamanya, sepanjang siang dan malam. Saya tidak menulis suatu poin pun, kecuali saya membaca apa yang ditulis ulama tafsir dalam kitab-kitab tafsir besar yang terpercaya, disertai penelitian yang jeli untuk memilih pendapat yang paling rajih dan benar.”

"Dengan demikian kini dapat kita temukan bahwa Alquran dalam hal yang mestinya dibaca secara mendalam dan digerakkan dalam ruang kehidupan secara nyata tidak terwujud karena umat Islam belum serius dan utuh di dalam memandang Alquran, sehingga semakin hari kian jauh tertinggal dengan peradaban lain dari sisi ilmu dan teknologi," terangnya.

Namun demikian, Imam mengingatkan, kondisi itu masih bisa diatasi dengan keberadaan generasi muda, generasi milenial, generasi x, y, dan z yang dikatakan memiliki banyak peluang maju. 

"Jika mereka mampu memahami Alquran sebagaimana mestinya, maka kebaikan masa depan Indonesia masih punya harapan," ungkapnya. 

Sebaliknya, dia mewanti-wanti, jika generasi ini kian jauh dari Alquran, maka semakin sempit harapan umat Islam bisa menjadi umat terbaik yang menjadi teladan bagi peradaban dunia.

Dalam kesempatan acara tersebut turut hadir sekaligus membuka acara Direktur Pesmadai Yayasan Dai Muda Indonesia Ust Ahmad Muzakky, Kepala Pendidikan Pesmadai Ust Rasfiuddin Sabaruddin S.sy, MIR, dan diikuti oleh Pesmadaiyah secara daring melalui jaringan virtual. 

Tags