Terus Menyalakan Semangat Dakwah di Setiap Penjuru Negeri
Para kader muda Hidayatullah di mana pun berada, persiapkanlah dirimu. Persiapkan mental, jiwa, dan raga untuk menerima amanah. Sebab, tidak ada alasan untuk takut dan menolak tugas dakwah.
Ketakutan bukanlah warna dasar kader Hidayatullah. Di era ini, tidak ada lagi ruang yang tak bisa dijangkau. Dunia komunikasi terbuka lebar. Kita bisa saling berbicara, bahkan tertawa bersama lewat video call.
Namun, keadaan ini sungguh berbeda dengan masa ketika kami memulai dakwah pertama kali pada tahun 1995 di Tanjung Merbo, pelosok Palembang, Sumatera Selatan.
Saat itu, satu-satunya alat komunikasi hanyalah telepon kabel yang bisa diakses melalui wartel atau kios telepon umum. Untuk sekadar menelpon ke Kota Palembang, kami harus menempuh perjalanan sekitar satu setengah jam dengan motor.
Demi tarif yang lebih murah, kami menunggu hingga pukul 23.00 malam, karena saat itulah ada potongan harga hingga 75 persen.
Betapa terbatasnya komunikasi kala itu. Namun semangat untuk berdakwah tidak pernah surut. Bahkan, jika dibandingkan dengan kisah para mujahid dakwah Hidayatullah di Papua, perjuangan kami mungkin tidak seberapa.
Mereka harus menghadapi tantangan yang jauh lebih berat, menembus daerah-daerah terpencil dengan segala keterbatasan. Semangat mereka menjadi cermin bagi kita semua, bahwa dakwah sejati bukan tentang kemudahan, melainkan keteguhan.
Dalam forum Diskusi Kamisan yang digelar pada Kamis, 25 September 2025, Ustadz H. Suharsono Darbi menyampaikan pesan yang sangat relevan dengan kondisi Hidayatullah saat ini, bahwa, perjuangan membangun peradaban Islam tidak boleh kontra produktif dengan cita-cita besar yang kita emban.
Karena itu, para kader muda tidak boleh terjebak dalam dikotomi “kader biologis” dan “kader ideologis.” Keduanya sama-sama bagian dari satu tubuh perjuangan.
Menjelang Musyawarah Nasional VI Hidayatullah, mari kita semua memantapkan hati. Persiapkan diri untuk menerima amanah di mana pun. Perbaiki niat agar segala perjuangan hanya karena Allah semata.
Jangan takut dengan istilah “daerah basah” atau “daerah kering.” Sebab, kedua istilah itu tidak menentukan keberhasilan dakwah.
Jika seseorang malas bergerak, ia akan mati juga meski berada di atas lumbung padi. Sebaliknya, di tanah yang tandus sekalipun, jika mau berusaha, Allah akan bukakan jalan rezeki.
Ada pepatah Bugis yang sering diulang oleh Pemimpin Umum Hidayatullah dalam banyak kesempatan: “Pakedo kedo moi limammu, engkomo tu matu muruntu,” yang berarti “Gerakkan saja tanganmu, nanti akan datang rezekimu.”
Begitulah hukum rezeki di daerah kering: yang bergerak, akan mendapat. Dakwah pun begitu — selama ada gerak dan tekad, pasti akan ada hasil.
Saya masih ingat perjalanan panjang dakwah yang telah saya jalani. Tugas pertama dimulai di Palembang, dari tahun 1995 hingga akhir 1996. Setelah itu saya ditarik ke Balikpapan, dan pada awal 1997 kembali ditugaskan di Samarinda hingga Juli 2000.
Pada tahun itu pula, tepatnya 30 Juli 2000, saya menyempurnakan keislaman dan mengikuti nikah mubarakah bersama 47 pasangan di Hidayatullah Gunung Tembak.
Hanya sepekan setelah pernikahan, amanah baru pun datang. Saya ditugaskan ke Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, yang kini termasuk Provinsi Kalimantan Utara.
Lima tahun kemudian, pada 2005, saya dipindahtugaskan ke Kabupaten Berau, tepatnya di Tanjung Redeb. Di sana saya bertugas selama sepuluh tahun, hingga akhir 2015.
Setelah menyelesaikan tugas di Berau, saya kembali menerima amanah baru di Penajam, yang kini termasuk wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN). Di Penajam saya bertugas selama lima tahun, dari 2015 hingga 2020.
Setelah masa tugas itu usai, awal 2020 saya kembali ke Samarinda — kali ini untuk kedua kalinya — sambil juga membantu amanah di Dewan Pimpinan Wilayah Hidayatullah Kalimantan Timur. Kini, hampir lima tahun sudah saya bertugas di sini.
Saya tidak tahu ke mana langkah berikutnya setelah Musyawarah Nasional VI Hidayatullah ini. Allahu a’lam. Tapi satu hal yang pasti, saya hanya ingin terus berada dalam garis perjuangan dakwah.
Mungkin nanti kita mendapat amanah baru, mungkin juga tidak. Semua tergantung pada kebijakan lembaga dan pertimbangan yang lebih luas. Namun, siap atau tidak siap, kita semua harus mempersiapkan diri.
Kepada para kader muda, jangan berhenti pada zona nyaman. Jangan hanya menunggu kesempatan, tapi siapkan diri untuk diamanahi — dan siap juga jika tidak diamanahi lagi. Sebab, dalam barisan perjuangan ini, amanah bukan sekadar jabatan, melainkan ladang pengabdian.
Bagi mereka yang memiliki kompetensi tinggi, tentu akan menerima amanah yang lebih besar. Namun, besarnya amanah tidak selalu diukur dari posisi atau tempat. Yang paling penting adalah ketulusan dan kesiapan untuk bergerak di mana pun ditempatkan. Karena dakwah bukan tentang “di mana,” tapi tentang “untuk apa.”
Maka, mari kita jaga niat agar tetap murni karena Allah. Mari kita kuatkan tekad dan satukan langkah dalam garis komando perjuangan Hidayatullah. Jangan biarkan semangat ini redup. Di mana pun kita ditugaskan, di situlah ladang amal terbuka lebar.
Kisah perjalanan dakwah ini bukan sekadar catatan pribadi, tetapi cermin bagi seluruh kader muda agar tidak takut menapaki jalan perjuangan. Sebab, dakwah bukanlah perjalanan yang menjanjikan kenyamanan, melainkan medan ujian untuk menumbuhkan iman dan kesetiaan pada misi besar peradaban Islam.
Jika dulu kami mampu bergerak dengan segala keterbatasan — dengan wartel, jalan berlumpur, dan keterasingan — maka di zaman serba digital ini, tidak ada lagi alasan untuk mundur.
Kini, semua alat sudah tersedia. Yang dibutuhkan hanyalah satu: keberanian untuk bergerak dan keyakinan bahwa Allah selalu bersama orang-orang yang berjuang di jalan-Nya.
*) Dituturkan tertulis Ustadz Mujib Muthalib, Kadep Organisasi dan Hubungan Antar Lembaga DPW Hidayatullah Kalimantan Timur, dengan beberapa penyesuaian yang telah dikonfirmasi bersangkutan untuk dimuat ulang.