Tradisi Pesantren dalam Persaingan Global: Menjaga Keseimbangan antara Kultur dan Modernitas
Oleh Prof. Dr. Mujiburrahman, MA*
Orasi ilmiah yang berlangsung di ruang serbaguna Aula Emberkasi Haji, Kota Balikpapan, menjadi panggung antusiasme. Sebanyak 161 sarjana dan sarjana-wati memenuhi ruangan, ditambah beberapa tamu undangan yang turut hadir.
Dalam orasinya, Prof. Dr. Mujiburrahman, seorang cendekiawan dengan kumis tebal yang mengesankan, menyatakan bahwa pesantren adalah sebuah subkultur yang memiliki kekhasan tersendiri. Beliau merujuk pada perkataan KH Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gusdur, dalam artikel tahun 1974.
Setiap pesantren memiliki subkulturnya sendiri dan tentunya memiliki ciri khas yang berbeda dengan masyarakat umum. Tantangan global modernitas adalah bagaimana pesantren menyesuaikan diri dengan pembaharuan, atau dalam bahasa Arab disebut al-hadatsa. Korelasi antara kultur dan modernitas menjadi sebuah pertanyaan yang perlu dijawab: bagaimana cara beradaptasi dari tradisi lama ke yang baru?
Adalah suatu kaidah yang mengatakan, "memelihara yang lama atau menciptakan hal baru yang lebih baik." Dalam era yang semakin cepat, mudah, dan murah berkat teknologi, transportasi, dan komunikasi yang terjangkau, kita hidup seperti di desa. Konsep "global village" memungkinkan kita mengenal orang lain dengan lebih dekat dan detail, mulai dari nama, pekerjaan, hingga lokasi tinggal.
Pertanyaan muncul: Apa saja tradisi pesantren yang sering kita jumpai? Setidaknya ada tiga hal: Etika Akhlak, Jaringan (Network), dan Kontribusi. Sebagaimana disampaikan oleh Ketua STIS Hidayatullah, Ustad Zaim Lc. MH, yang juga disoroti oleh Prof. Mujiburrahman sebagai Ketua Kopertais XI Kalimantan.
Apa ciri-ciri modernitas? Modernitas ditandai dengan berkuasanya ilmu dan teknologi. Kemajuan peradaban manusia tidak dapat terlepas dari ilmu pengetahuan. Ilmuwan Belanda, Maxim, tertarik pada karya-karya Abdurrahman Ibnu Kholdun yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Hal ini menjadi awal perjalanan Maxim yang akhirnya tertarik pada Islam.
Mengapa umat Islam menjadi bangsa besar?
Keagungan ilmu pengetahuan adalah pondasi peradaban yang agung. Aristoteles dengan metafisikanya membuat Ibnu Sina membaca dan memahami dengan susah payah. Ini kemudian berujung pada pengakuan dan penelitian yang mengantarkan Ibnu Sina pada kebenaran Islam.
Orientalis seperti Stock, yang kemudian memeluk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Goffar, meneliti Al Imam Nawawi Al Bantani. Komentarnya tentang Al Imam sebagai orang Nusantara yang terpelajar memberikan gambaran tentang nilai-nilai keilmuan dan kesederhanaan.
Semangat keilmuan ini menjadi pendorong modernitas di Barat. Namun, ironisnya, banyak mahasiswa dan dosen sekarang lebih sering membaca ponsel daripada buku. Prof. Mujiburrahman menegaskan bahwa ilmu dalam tradisi Islam bukan hanya kebutuhan pragmatis; ilmu turun sebagai cahaya dan petunjuk untuk mendatangkan kebaikan.
Dalam konteks ini, kita harus mengingat nilai-nilai agama. Ayat Tuhan tidak boleh diabaikan, sebagaimana kita tidak boleh sembarangan dalam memperlakukan alam. Pemanasan global yang naik 1,2 derajat Celsius mengingatkan kita untuk introspeksi diri. Bangunan kaca yang tak terhitung banyaknya juga tidak mampu mengendalikan pemanasan global.
Allah berfirman, "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri." Tiga hal yang harus dijaga dan dihormati: alam semesta, manusia, dan Kitab Suci.
Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi, ada tiga hal yang perlu diperhatikan:
1. Mengetahui manfaat dan dampak literasi teknologi dan komunikasi.
2. Melakukan penelitian dampak teknologi terhadap budaya dan pendidikan.
3. Menciptakan konten kreatif yang bermanfaat.
Pesantren, dengan kearifan dan keilmuannya, diharapkan tetap menjaga keseimbangan dan relevansinya di tengah tantangan modernitas dalam persaingan global. Kita tidak boleh hanya puas ingin "to have more and to use more." Seiring dengan itu, diingatkan agar tetap menjaga kecepatan, kekuatan, dan akurasi dalam menghadapi perubahan zaman.
*)disarikan dalam orasi ilmiah pada Sidang Senat Terbuka Ke-8 STIS Hidayatullah Balikpapan.